Sabtu, 26 April 2014
Jangan Korbankan Nilai Moral
Dunia pendidikan kita, kini telah banyak kehilangan nilai moral. Lihat saja, banyak praktik dalam dunia pendidikan yang justru membuat anak belajar untuk curang, tidak jujur, dan malas.
Contoh paling nyata betapa sekolah telah kehilangan nilai moral adalah fenomena kecurangan saat ujian nasional. Karena khawatir ada siswa yang tidak lulus, atau khawatir nilai ujian nasional yang diperoleh kalah dengan sekolah lain, diterapkanlah praktik perjokian, pencurian soal, hingga yang kini masih menjadi pembicaraan aktual: mencontek massal.
Kasus-kasus yang terungkap hanyalah contoh yang kelihatan. Kecurangan sebenarnya mungkin lebih besar dari yang terungkap di media massa. Ya, seperti layaknya gunung es saja. Yang kelihatan hanya beberapa bagian, padahal bagian yang lebih besar tertutup dari pandangan.
Kadang, saya merasa miris merasakan aroma kebobrokan moral dalam dunia pendidikan kita. Saat kegiatan pembelajaran di kelas satu dan dua, dengan susah payah kita berusaha menggali nilai-nilai didik dari setiap mata pelajaran yang kita berikan. Kita mengajar tidak semata-mata berusaha membuat anak didik tahu, tapi juga memiliki sejumlah kecakapan hidup, memiliki sikap dan perilaku luhur dan menginternalisasi nilai-nilai budi pekerti. Meminjam adagium dalam dunia pendidikan, kita ingin mendewasakan manusia menjadi manusia yang baik, bertanggung jawab dan mandiri.
Namun, di akhir tahun, ketika ujian nasional datang, nilai-nilai moral itu seolah sirna. “Persetan dengan kejujuran. Persetan dengan prinsip-prinsip obyektivitas dan keadilan. Yang penting semua siswa bisa lulus. Yang penting nilai rata-rata sekolah terdongkrak sehingga bisa mencapai rangking tinggi di tingkat propinsi. Yang penting gengsi dan prestise sekolah menanjak, tak peduli dengan menjunjung tinggi sportivitas.”
Begitulah yang terjadi.
Hemat saya, dekadensi moral dalam dunia pendidikan ini layak kita cermati dampaknya. Kita mesti sadar bahwa praktik pembelajaran yang tidak menjunjung nilai-nilai moral akan berdampak pada karakter generasi muda kita. Kecurangan dalam ujian nasional sebagai salah satu contoh jelas telah mematikan sikap jujur, ulet, teliti, dan adil dalam diri siswa.
Di lain pihak, di luar dunia pendidikan, anak didik kita juga melihat praktik kecurangan dengan amat nyata saat korupsi merajalela. Sebut saja kasus Gayus Tambunan, Nazarudin, dan Nunun Nurbaeti. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan para punggawa negara ini disiarkan secara intens oleh media televisi dan cetak sehingga lengkaplah sudah media pembelajaran praktik kecurangan bagi anak didik kita.
Anak-anak berpikir, berbuat curang itu bukan suatu masalah. Toh, di sekolah mereka diajari melakukan itu. Di masyarakat, para pejabat negara, juga melakukan hal yang sama. Wah, akan jadi apa bangsa ini ke depan kalau semua kebobrokan ini tidak segera diperbaiki?
Sebagai seorang guru, saya tidak dapat berbuat apa-apa selain berseru: marilah kita kembalikan nilai-nilai moral dalam praktik pendidikan kita. Marilah kita berantas kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional! Juga, mari kita berantas korupsi dalam masyarakat kita!
Sekolah merupakan lingkungan pendidikan, tempat para anak bangsa menempa diri. Mari tempa mereka dengan pengalaman-pengalaman bermakna yang mampu mengembangkan seluruh potensi mereka: kognisi, afeksi dan psikomotori. Kita fasilitasi mereka dengan program pembelajaran yang memberdayakan, yang menyulut potensi-potensi yang masih terpendam. Yang menggerakkan mereka untuk melakukan kegiatan belajar sepanjang hayat, secara mandiri.
Tempa mereka dengan kehidupan yang menjunjung moralitas: kejujuran, keuletan, kerja keras, dan sikap sportivitas! Hingga suatu saat, kelak mereka menjadi insan yang berguna, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakat dan bangsanya.
Saya sangat apresiatif terhadap kisah Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata (Bentang Pustaka, Yogyakarta, 2005). Dilukiskan, sebuah sekolah marjinal di Pulau Belitung yang hanya punya siswa sepuluh orang dengan guru dua orang, mampu membuktikan bahwa sebuah kederhanaan, kejujuran, dan moralitas ternyata mampu mengantarkan anak didik kita kepada jati dirinya masing-masing. Bahkan pencapaian itu jauh melebihi batas kenyataan yang dapat dibayangkan.
Dengan rendah hati, Bu Muslimah yang dihadirkan di acara Kick Andi mengatakan. ”Saya ini hanya seorang guru desa. Saya tidak sehebat yang diceritakan dalam novel ini.”
Tapi jelas satu hal yang dimiliki oleh sosok guru ini: keikhlasan. Sebuah moralitas tertinggi yang dimiliki oleh manusia.
Feature: Nuansa Kekerasan dalam MOS
Hari masih pagi. Matahari baru saja nongol dari ufuk timur di atas punggung Gunung Penanggungan, Mojokerto. Udara dingin merayap terbawa bersama angin semilir. Rasanya, badan ini mau menggigil saja. Untunglah, saya tidak lagi alergi dingin sehingga bisa memantau kegiatan Masa Orientasi Siswa Baru (MOS) yang dilaksanakan di sekolah kami, SMK Negeri 1 Pungging.
“Yang sakit, yang pura-pura sakit, yang merasa tidak kuat, maju ke depan, Dik!” kata kakak-kakak senior kepada para yuniornya.
Teriakan-teriakan itu terus diulang-ulang oleh beberapa senior, sementara beberapa yunior (siswa baru) yang terlambat dibentak-bentak, dihukum push up dan sebagian di antaranya harus berlari mengelilingi lapangan.
Hari itu adalah hari pertama siswa baru masuk sekolah. Sebentar lagi akan dilakukan upacara hari senin sekaligus pembukaan MOS. Sebelum upacara dimulai, siswa baru dikondisikan agar “disiplin”. Bentakan, hukuman, bahkan cemoohan menggema di antara dinginnya udara pagi. Tak pelak lagi, siswa baru memulai hari pertama masuk sekolah dengan penuh ketegangan.
“Ingat, kamu masih calon siswa di sini, Dik!” ujar senior kalau melihat ada geliat melawan dari sang yunior.
Inilah gambaran MOS (Masa Orientasi Siswa) selama ini, dari tahun ke tahun. Tercium sekali bau kekerasannya.
Apakah memang pelaksanaannya mesti begitu? Entahlah. Dari mana asal-muasal tradisi kekerasan itu muncul mewarnai agenda awal tahun bagi siswa baru? Saya benar-benar tidak tahu.
Dulu, saat awal-awal sekolah ini berdiri, saya ikut andil dalam mengembangkan kegiatan MOS. Waktu itu, saya melihat kondisi organisasi kesiswaan (OSIS) belum ada greget. Saya pikir, salah satu penyebabnya adalah belum dilibatkannya pengurus OSIS dalam menyambut siswa baru. Seingat saya, bukan MOS bernuansa kekerasan itu yang saya kembangkan. Tapi seiring berjalannya waktu, ada improvisasi kebablasan di sana sehingga nuansa kekerasan dan perploncoan seperti terjadi dan terus terjadi.
Kalau dilihat dari namanya, yaitu orientasi, mestinya MOS hanyalah sebuah kegiatan yang bertujuan mengenalkan siswa baru kepada lingkungan barunya: ruang kelas, kurikulum, fasilitas sekolah, teknik penilaian, guru-guru, maupun kakak-kakak kelas yang nanti bakal ditemuinya. Kenapa harus menjadi kegiatan bentak-bentakan yang cenderung merendahkan? Siswa baru disuruh menggunakan aksesoris tali rambut rafia (bagi anak perempuan) dan memakai rompi tas kresek (bagi laki-laki), bahkan harus sambil menggigit dot, dan sebagainya. Ini cenderung sebagai perploncoan dan pelecehan.
“Awalnya, kami memberi kesempatan kepada para senior untuk membina adik-adiknya agar lebih berdisiplin. Tapi, inilah yang terjadi. Disiplin ternyata dimaknai sebagai militerisasi,” ungkap Drs. Mukiyar, Wakasek Kesiswaan.
“Nampaknya, dari tahun ke tahun, seiring dengan kreativitas para senior, MOS berkembang menjadi pembinaan dengan menghalalkan kekerasan. Kami selalu mewanti-wanti agar jangan ada kekerasan, namun nampaknya mereka balas dendam atas perlakuan yang dialami sebelumnya,” ujarnya lagi. “Senior hapal betul perlakuan yang pernah dialaminya, kini hal serupa diberlakukan pada yuniornya.
Semua Sudah Terencana
Ketua MOS, Choirul Anam mengatakan tidak ada yang salah dari kegiatan MOS di sekolahnya. “Semuanya sudah sesuai dengan rencana matang yang digagas di tiap rapat koordinasi. Kita ini anak-anak SMK Teknik atau kalau dulu disebut STM. Mental mesti kuat, tidak boleh memble. Kalau tidak diterapkan disiplin militer, lalu disiplin apa lagi?” ungkapnya berapi-api.
Hal serupa juga diungkapkan Yoyok, komandan pasukan khusus (pasus). “Kami memang menerapkan disiplin ala militer, tapi tidak melakukan kekerasan. Kami tidak pernah memukul, menampar atau melakukan sentuhan fisik. Yang kami lakukan hanya ketegasan, bukan kekerasan,” kilahnya.
Lain lagi pendapat Feri, aktivis pramuka. Dia berpendapat, kalau disiplin militer yang diterapkan, pasti tetap berbau kekerasan.
“Hukuman push up, lari-lari, dan lain-lain, bukankah itu termasuk kekerasan?” katanya.
Menurutnya, untuk menanamkan disiplin, yang penting harus disentuh pada yunior itu hatinya. Sentuhlah hatinya dengan kasih sayang!” ujarnya sambil mengusulkan agar pelaksanaan MOS di sekolah ini dirombak total.
“Bersama-sama kita buat petunjuk teknis, petunjuk operasional, atau semacamnya secara rinci. Kemudian pelaksanaannya di lapangan selalu dipantau secara serius oleh pembina,” katanya lagi.
Dari pengalaman saya sendiri dalam berapa tahun menjadi pembina kesiswaan, kendala memang selalu muncul. Saya pernah selalu rutin mengadakan rapat evaluasi dan koordinasi tiap hari saat pelaksanaan MOS, terutama menyangkut kegiatan apel, namun ada saja penyimpangan esoknya. Payahnya, dalam koordinasi kadang ada beberapa panitia tidak mengikuti, lalu esoknya berulah. Yang paling sering terjadi, ada senior penyelundup, yaitu siswa senior yang bukan panitia tapi ikut nimbrung membentak-bentak. Motifnya, kadang hanya sekadar untuk aktualisasi diri. Inilah yang paling bahaya.
Hari bertambah siang. Matahari mulai menyengat ubun-ubun. Para senior masih dengan semangat “mendidik” adik-adiknya. Masih ada bentakan-bentakan keras, push up, dan berlari-lari mengelilingi lapangan. Para senior agaknya lupa bahwa kondisi para yunior sangat beragam. Ada yang kuat fisiknya, ada yang lemah. Beberapa yunior ambruk tak sadarkan diri: pingsan. Beberapa tim medis mengangkat anak yang pingsan ke ruang istirahat dan memberikan pertolongan ala kadarnya. Yang parah dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Beberapa yang ambruk ternyata bukan pingsan, tapi kesurupan. Panitia memanggil orang pintar untuk mengusir roh jahat. Tak beberapa lama mereka sadar juga, tapi ada yang tetap berteriak-teriak histeris sambil menangis. “Ini tidak kesurupan, Pak. Ini hanya depresi. Jauhkan dari siswa panitia!” kata Mas Rochim, orang pintar yang masih muda ini.
Betul. Begitu dijauhkan dari para senior, anak itu berangsur tenang. Namun ketika melibat sekelebat panitia berseragam putih biru, ia kembali berterika-teriak.
Matahari makin menggila, dan para senior tak surut dengan aksinya. Apel siang tidak seklesai-selesai juga.
Saya yang melihat dari teras sebuah ruang kelas bertanya di dalam hati. Kalau terjadi apa-apa dengan para siswa baru, misalnya sampai ada yang tidak tertolong karena fisiknya memang lemah, siapa yang bertanggung jawab?
Tiba-tiba saya merasa ngeri. Sebab saya tahu, ini bisa terkena pasal tentang kelalaian yang menyebabkan jatuhnya kurban. Hukumannya penjara, lho! Ah, Semoga ini tidak pernah terjadi, doaku berkali-kali. (Rais Muhammad KS).
KETIKA ‘YANG PINGGIR’ MENJADI PUSAT
KETIKA ‘YANG PINGGIR’ MENJADI PUSAT
Sekedar Komentar pada Kumcer Tentang Kami Para Penghuni Sorterα
Oleh:
Mashuriβ
Aku berada di antara laut biru yang dalam dan setan
Billy Bragg
1/
Dalam sebuah risalah, Antonio Gramsci pernah menggurat sebuah taklimat, bahwa dalam proses dialektika, ‘the margin’ selalu saja berusaha merangsek ‘the center’. Gerak sejarah, yang berdasar pada ‘counter’ pinggiran dan pusat itu menjadi sumbu dinamis sebuah tatanan yang berpangkal dari materialisme historis. Dalam kumpulan cerpen Tentang Kami Para Penghuni Sorter, saya melihat gagasan ‘pinggir’ yang memusat itu menjadi ruh yang membenangmerahi 9 cerpen yang terkumpul dalam buku tersebut. Tentu saja, gagasan itu bukan Gramscian dalam arti ideologis, tetapi berparalel dalam ruang yang berbeda, karena dalam kumpulan cerpen itu, ‘yang pinggiran’ telah menjadi pusat, yakni pusat cerita/ penceritaan.
Dalam sembilan cerpen yang ditulis kawan-kawan Mojokerto, saya melihat sosok-sosok kecil, remeh, yang terpinggirkan dari arus besar dan dianggap nyinyir oleh mayoritas, menjadi pusat cerita dengan konflik, eksistensi dan persoalan masing-masing. Cerpen-cerpen tersebut berbicara dengan tentang manusia dan tidak disapih oleh akar kemanusiaan paling hakiki, yaitu nasib, mungkin takdir. Pergulatan yang terjadi adalah bagaimana si manusia yang tak dipedulikan, nyeleneh dan nyentrik itu bergulat dengan masalahnya, memberi makna pada kehadirannya di dunia. Caranya begitu beragam. Di antaranya ada yang meruyak wilayah religiusitas, dengan bersandar pada kekuatan transcendental; di sisi lain, ada yang berpatok pada imanensi dan kekuatan diri manusia; ada pula yang berada antara wilayah itu, atau mengabaikannya, tetapi lebih menitikberatkan pada proses yang belum sampai. Pada titik ini, sebagaimana nukilan ungkapan Billy Bragg di awal tulisan ini, di antara paradoks tokoh-tokohnya, ada mendasarkan diri pada ‘laut biru yang dalam’; ada pula yang berpangkal pada ‘setan’; ada pula yang berada di wilayah ‘antara’; ada juga yang berada di wilayah lainnya.
Tulisan singkat ini bukanlah sebuah analisis mendalam dengan sederet label-label kesastraan, tak lebih sekedar komentar, untuk ikut mencicipi pergulatan manusia yang telah dilakukan cerpen-cerpen itu. Sebagai pembaca, pada saat tertentu, saya ditaburi ketakjuban karena menemukan hal-hal yang baru dan memukau; pada saat tertentu, saya juga protes karena saya mendapati ruang rumpang yang mengganggu pembacaan saya; pada saat tertentu, saya juga tak bisa berkata-kata karena terjebak di ruang antara…
2/
Beberapa cerpen merujuk pada hal ihwal yang berbau religius. Ada religiusitas yang terang-terangan, terdapat semacam ‘religiusitas’ yang telah melampaui aspek formal dan menjadi keyakinan itu sendiri. Religiusitas ini tampak begitu beragam dan marak, yang dalam beberapa cerpen, saya curigai sebagai ikhtiar dari pelarian, meski di cerpen yang lain, saya menemukan sebuah orisinalitas dari sebuah pergumulan religius lewat laku hidup.
Aspek tersebut dapat dilihat pada cerpen Atina Nabila “Catatan Seorang Tuna Netra”. Cerpen itu berkisah tentang tokoh ‘aku’, seorang tunanetra yang malang, ‘seorang lelaki tak berdaya’, yang sedang mencari titik eksistensial dalam alur hidupnya. Tokoh adalah sosok remeh yang sedang berproses untuk menghargai hidup, yang terbuang oleh keluarganya. Ia bersandar pada sisi manusiawi, yang pada titik tertentu terlihat tegar, di sisi lainnya rapuh. Pada momen tertentu, ia merasa tak berdaya, tetapi pada momen lainnya, ia akan berucap: “Aku memang buta tapi aku bukan manusia lemah”. Dalam kontradiksi itulah, tokoh yang mengingatkan saya pada para penghapal Quran yang buta itu, menyandarkan dirinya pada kekuatan di luar diri, yaitu Tuhan. Alhasil, nasib pun berpihak padanya. Ia bahagia dengan dirinya.
Namun, terasa ada yang mengganjal dari cerpen ini. Dominasi pesan seakan meruntuhkan bangunan teksnya. Tiga paragraf terakhir adalah inti dari cerpen ini tetapi sekaligis titik lemahnya. Selain itu, mengangkat orang buta, dengan sudut pandang aku-an, adalah mentranser segala kebutaan dalam perspektif yang subyektif. Bagaimana pembaca bisa merasakan ‘kegelapan’-nya. Tetapi dalam cerpen ini, sangat terasa bagaimana tokoh ‘aku’ berkisah tentang dirinya dan memandang sebagai ‘orang yang melihat’. Jika ia bertumpu pada ‘aku’ yang buta, tentu pembaca akan mendapatkan begitu banyak kabar dan warna dari ‘dunia kegelapan’ sana, yang siapa tahu bisa mencipta ‘terang’ di sini, di mata pembaca.
Cerpen lainnya, “Doa Isteri Tukang Semir” karya Jack Efendi juga religius, dengan menjadikan orang kecil sebagai pusat, yaitu tukang semir dan isterinya. Dengan latar Jakarta, tentu sosok tukang semir kelihatan semakin tak berdaya dan remeh. Tetapi dalam ketakberdayaan itulah, si tukang semir menunjukkan keberdayaannya. Ia memiliki ruang domestik yang kokoh yaitu ihwal keyakinan, meskipun rapuh dalam satu sisi: soal nasib, sebagaimana ia berujar: “Aku kembali melihat gelas yang berisi kopi hitam pekat. Sepekat nasib keluargaku”. Dalam keterbatasannya, ia bisa menjadi kokoh karena bersandar pada ketakterbatasan, yang dalam hal ini adalah Tuhan dan doa (isterinya). Aspek religiusitas, sebagaimana yang tersurat pada judulnya, berjalin kelindan dengan ikhtiar manusia dalam menentukan nasibnya sendiri. Cerpen pun ditutup dengan ungkapan, “Terima kasih Tuhan untuk tetap memberikan jatah rejekiku dan juga pelajaran untuk hari ini.”
Nyaris seperti cerpen Atina, cerpen tersebut mengandung kerumpangan terutama dari sisi perspektif tokoh, yaitu tokoh ‘aku’, si tukang semir. Tokoh ‘aku’ bukan ‘aku’ orang kecil atau si tukang semir. ‘Aku’ di situ terlalu menggebu mewakili pandangan dan ‘ideologi’ penulisnya. Gambaran tukang semir yang manusiawi seakan pudar dalam beberapa momen. Saya mendapati tukang semir yang idealis, bahkan terlalu cerdas. Opininya pada media massa dan kemiskinan demikian mumpuni, juga soal korupsi dan kriminalitas. Bahkan, pada titik tertentu, ia berkata, “Tiba-tiba aku tepis pikiran idealisku tadi.” Memang nada satir dan ironi muncul di beberapa bagian cerpen, tetapi kemunculannya terkesan bukan karena tuntutan cerita, bukan karena ‘kehendak’ wong cilik si tukang semir. Sebenarnya, dialog internal cerpen ini berpotensi untuk kaya dengan gaya dan menohok dengan humor-humor pahitnya. Jika dialog internal itu dikemas lebih psikologis/ komedik sekalian, yang merupakan problem si tukang semir dengan realitas yang membelenggunya, juga realitas di luar dirinya, saya yakin cerpen ini lebih memikat dan berdaya.
Cerpen Rais Muhammad yang berjudul ‘Purnama di Tepi Sungai Brantas’ juga berkisah tentang ‘orang tepian’ yang religius. Ia bernama Pur/ Purnama, dan dianggap gadis gila, sebuah penyetereotipan orang kecil yang dimarginalkan masyarakatnya sendiri. Di sini terdapat perpaduan unik antara paradoks eksistensi diri dan kekuatan di luar diri, baik itu dari manusia sekitar, orang tua, dan tentu saja Tuhan. Pur, yang tercederai hidupnya oleh perilaku orang lain, menyikapi nasib dengan nyeleneh. Kenyelenehan ini ternyata sebuah ikhtiar, agar kegetiran hidup itu mendapatkan ruangnya yang tepat, tersimpan di sisi dada yang terkoordinat. Sebuah keterbatasan yang dikaitkan dengan keluasan. Alih-alih peduli pada anggapan gila orang-orang, ia pun terus menghikmati kesendirinya. Ujung-ujungnya adalah kelapangan diri yang berpadu dengan kelapangan Tuhan. Dalam kesendirian dan kehilangan itu, ia merasa memiliki segalanya. Pur berkata: “Hidupku, diriku, sejak itu milik Allah. Hidupku adalah doa-doa untuk kebahagiaan mereka (orang tua, red.)”.
Secara teknik, cerpen ini mengadopsi cerita berbingkai. Tokoh ‘aku’ yang bercerita bersua dengan dia yang bercerita. Namun ada hal-hal yang mengganggu pembacaan, apalagi cerpen itu berlatar tempat/waktu yang bisa saja dilacak pada akar kultural dan geografisnya. Terdapat beberapa penyederhanaan, semisal menghadapkan secara vis-a vis tentang kesenian tradisional yang ‘menyimpang’ dari nilai moralitas dengan keberadaan lembaga keagamaan formal. Penokohan Pur, yang dianggap gila, pun terasa kurang mendalam. Sebenarnya penokohan ini bisa menjadi kelebihan, jika penokohannya tergarap: di balik kenyelenehan yang tampak ternyata tersimpan hal-hal tak terduga dan berharga. Tetapi, begitu saya masuk ke karakter Pur, ternyata ia tidak senyeleneh yang diriuhkan. Ia masih ‘waras’. Tabir Pur terlalu tipis untuk ditembus, rahasianya pun terlalu mudah untuk dibuka dan diterka.
Dari tiga cerpen tersebut, yang memiliki modus yang nyaris sama: orang kecil, terpinggirkan, nyeleneh, yang bertaut erat dengan religiusitas, bisa saja muncul beberapa pertanyaan: adakah modus menyongsong Tuhan adalah modus terbaik ketika si tokoh berhadapan dengan realitas hidupnya yang pahit? Bisakah itu dianggap sebagai pelarian? Ataukah itu adalah senyawa ideal bagi orang-orang kecil agar ia ‘bahagia’ dengan kekurangannya dan nasibnya yang kurang bahagia? Kiranya pembaca bisa menambah daftar pertanyaan-pertanyaan itu lebih panjang dan lebih bernas.
Di sisi yang berbeda, saya menangkap‘religiusitas’ orang kecil yang cukup menantang dan penuh penghayatan tanpa embel-embel ‘Tuhan’ bisa dilihat pada cerpen lainnya. Dalam hal ini, saya tidak berbicara soal baik-buruk, mana yang lebih pas dan mana yang ‘culas’, saya hanya sekedar memaparkannya sesuai dengan perayaan pembacaan saya.
Salah satunya adalah cerpen “Rebiin”, karya Achmad Fatoni. Seniti, yang dalam konfliknya dengan suaminya, Rebiin, ‘menerima’ perlakuan suaminya yang tak adil dengan menggerutu sekaligus pasrah. Pada titik tertentu, wanita itu mencoba untuk membuat keputusan yang berani dan nekat. Seniti seperti meyakini keberdayaannya dari ketidakberdayaan suaminya (‘Tuhan’-nya) untuk membelanya. Saya teringat pada semboyan mahasiswa pecinta alam: “Tuhan bersama orang-orang berani”. Memang, cerpen ini hanya menyediakan sebuah sketsa dan pembaca diminta untuk melengkapi garis-garis yang ada. Tetapi di sisi lain, ada kesan cerpen itu belum tuntas.
‘Religiusitas’ orang kecil/wong cilik juga bisa dilihat pada cerpen “Penghuni Sorter” karya Hardjono WS. Sekilas bisa dikatakan, cerpen “Penghuni Sorter” adalah cerpen yang bercerita tentang orang kecil dengan teknik cerita berbingkai. Pusatnya adalah Mak Mah, yang mampu menyeret begitu banyak cerita lainnya. Cerpen ini menuju taraf ‘poliponik” (begitu banyak suara dari sebuah cerita). Bahkan, pada kadar tertentu bisa dikatakan sebagai cerita tanpa ‘cerita’. Masing-masing unsurnya saling menopang dan berjalan begitu saja, lewat dialog tokoh-tokohnya, dan narasi dari pencerita/narator. ‘Religiusitas’ orang kecil sebagaimana yang telah disinggung, mengalir secara integral dalam alurnya dan penokohan/ perwatakan, termasuk di dalamnya adalah pandangan/laku hidup tokoh Mak Pah pada alur hidup dan nasib. Dalam cerpen, saya juga menemukan adonan antara ironi, satir, dan humor pahit. Nilai-nilai lokalitas berpadu universalitas. Yang tetap berkelit-kelindan dengan yang berubah. Orang-orang kecil datang dan pergi untuk menjadi orang besar. Sentilan sisi kemanusiaannya juga besar. Cerpen ini prototripe ‘sastra yang terlibat/memihak’ tanpa mengorbankan nilai sastranya.
3/
Cerpen “Payung” karya Mochamad Asrori cukup ciamik. Teks-teksnya menyusun dirinya menjadi sebuah dunia, tanpa perlu bersandar pada sebuah dunia lain. Kelebihan cerpen ini adalah pada detail, fokus, dan perspektif anak kecil dalam memandang benda-benda dan dunia. Ihwal perspektif anak kecil menjadi catatan tersendiri: sebuah dunia yang tak bisa dipahami dengan mudah oleh orang dewasa, meski orang dewasa pernah melewatinya. Cara pandang ini begitu manis, ditunjang dengan narasi yang liris. Asrori mengeksplore hal-hal yang remeh, seperti payung usang, anak kecil, foto, kenangan, juga keinginan keseharian anak kecil yang ternyata berpaut dengan sesuatu yang lebih besar: soal kebahagiaan, eksistensi diri, hidup-mati, juga soal sepi.
Namun, ada beberapa celah, meski sebenarnya bisa dikatakan bukan celah yang parah. Misalnya, dalam pengaluran sebelum akhir cerpen, dii situ terdapat sebuah kebiasaan yang tidak dikerucutkan menjadi satu momen, tetapi penceritaannya berdasar satu momen. Tentu akan berbeda, jika diawali dengan ‘suatu hari, suatu ketika, atau ketika terjadi hujan suatu sore”. Pun, ada beberapa editing yang tidak sempurna, dengan masuknya kata ganti “-ku” atau “aku”, yang seharunya adalah “nya” dan “dia”. Godaan terbesar bagi cerpen yang mengganakan sudut pandang anak juga ada, yaitu merasuknya pandangan orang dewasa, sebagaimana dalam sebuah cuplikan. “Payung bertangkai lebar dan pegangannya dari kayu ini mungkin payung pembawa kebahagiaan,” batinnya. Saya kira anak kecil bukan tabu untuk berbicara kebahagiaan, tetapi itu terlampau dewasa untuk dijadikan suara batin. Meski demikian, saya meyakini, jika si penulis konsisten dengan gaya dan capaian cerpen ini, ia potensial untuk berkembang dan bernafas ‘panjang’. Cerpen-cerpen dengan teknik ini memang masih langka di Indonesia, mungkin baru ditemukan pada beberapa cerpen Dewi Ria Utari dan Ugoran Prasad.
Dalam cerpen “Tentang Kami” Jr Dasamuka mencoba bereskperimen tentang dialog internal. Ia memang bukan berkisah tentang orang kecil ---dari segi ekonomi dan status sosial, tetapi gambaran orang aneh dan pinggiran masih cukup kental: dua anak yatim-piatu yang beranjak dewasa, yang di rumahnya terdapat tempat sampah penuh plastik mie sedap, dapur penuh jelaga dan rungsep. Memang deskripsi yang kontradiktif sebagaimana: “pakaianku tidak pernah rapi, tapi aku selalu berdasi, celana pensil, dan jas hitam”. Sebuah profil yang eksentrik, sebagaimana pengakuan si tokoh: “dari kecil, aku sealu menjadi hitam dari segala putih saudaraku”. Sebagaimana cerpen Rais Muhammad, Dasamuka juga membalik anggapan diri, dan anggapan di luar dirinya, meski si tokoh utama terus berpikir tentang aksi pembunuhan. Saya kira pembaca mungkin akan terkecoh siapa yang mati dan dimutilasi, jika pembaca berpatok pada pikiran membunuh. Penulis menggunakan perspektif atau sudut pandang pasca-maut untuk menggambarkan bahwa ternyata yang ‘putih’ bertindak hitam. Saya teringat pada sebuah novel Dostoevsky, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “Kejahatan dan Hukuman”, yang diterbitkan Obor, soal dialog interior pada diri tokoh soal rencana pembunuhan dan realisasinya.
Saya melihat ada titik rengkah dalam cerpen “Tentang Kami”, terutama tentang pembalikan karakter dari putih ke hitam. Jika dihitung dari sisi kejutan, memang terdapat kejutan. Tetapi kejutan itu, seperti ‘jatuh dari langit’ dan tidak dipersiapkan dalam rajutan alur atau tersusun dari teks-teks sebelumnya. Kita hanya disediakan satu perangkat: si putih bertandang ke kekasih si hitam dan si hitam terbakar cemburu. Penggunaan teknik sudut pandang pasca-maut pun terasa dipaksakan, apalagi sudut pandangnya masih ‘aku-an’ dengan gaya seperti semula. Namun, sebagai sebuah cerpen yang mencoba menyelami sisi gelap manusia sebagai ‘homo homini lupus’ maka cerpen ini memiliki potensi untuk berkembang.
4/
Terdapat dua cerpen yang berbicara tentang ‘kalangan marginal’ lainnya dari sebuah ‘kelas’ yang sebenarnya ‘berkelas’, yaitu “Yang Dibunuh Cerita-cerita” karya Dadang Ari Murtono dan “Negeri Dongeng” karya Nasrulloh Habibi. Kedua penulis itu memiliki pandangan dunia yang nyaris sama: bahwa pengarang/penyair menempati ‘kelas’ yang tak layak untuk beruntung dan termasuk kelas marginal. Tentu saja, pandangan ini adalah pandangan khas Indonesia banget, dan begitu romantik. Kita tahu, pada masa-masa kerajaan di Tanah Air, pengarang atau pujangga begitu dihormati. Begitu pun di negeri-negeri yang melek literer, pengarang adalah begitu dihargai dan dianggap sebagai agen intelektual yang nyaris seperti ‘nabi’.
Dalam cerpen “Yang Dibunuh Cerita-cerita” adalah gambaran pengarang ambang, yang memiliki jiwa modern atau soliter di sebuah masyarakat yang acuh tak acuh. Cerpen ini sama menariknya dengan cerpen “Payung”, pun sama potensialnya. Rajutan teksnya begitu kaya dan narasinya cukup detail. Begitu usai membacanya, saya teringat pada sebuah cerpen yang agak panjang dari penulis Eropa (saya lupa judul dan penulisnya) dan sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, terbitan ‘akubaca’. Cerpen itu berkisah tentang tokoh-tokoh cerita yang datang menuntut pengarangnya karena tokoh-tokoh itu tidak puas terhadap si penulis. Saya kira gaya serupa sebagaimana yang diadopsi Seno Gumira Adjidarma dalam novel “Kitab Omong Kosong”, ketika Walmiki didatangi tokoh-tokoh rekaanya. Tetapi dalam cerpen “Yang Dibunuh Cerita-cerita” saya melihat kekhasannya sendiri sebagai sebuah ‘dunia’ yang diciptakan Dadang, terutama tentang sisi tragis dari seorang pengarang. Dalam cerpen itu, saya menangkap ‘ruang rumpang’ dari pengarang baik secara sosial maupun dalam dunia imajinasinya. Pengarang digambarkan mengendap dalam ingatan kawan-kawan dan tetangganya sebagai ‘orang sinting, berambut gondrong, gaya hidup nyentrik’ dan stereotipe kepengarangan lain yang bohemian. Cerita tentang ihwal inilah yang menjalin benang merah dengan cerpen-cerpen lainnya, tentang ‘yang marjinal’. Secara tekstual, bangunan cerpen ini bisa berdiri sendiri, dengan rajutan teks-teksnya yang menantang untuk dibaca sebagai ‘teks plural’. Gagasan metafiksi menggelayuti hampir di sekujur cerpen, yang tentu saja, sangat menarik digali dari segi relasi-relasi fiksi dalam fiksi yang terangkai.
Cerpen “Negeri Dongeng” juga menyoal tentang seorang penyair, yang berasal dari negeri dongeng, negeri khayalan –tergambar dalam film. Tokoh “aku” seakan tidak rela melihat seorang penyair ‘gembel’ bernama Rasyid, mendapatkan seorang kekasih sekelas artis, meski itu ‘hanya’ dalam film. Logika cerita berbingkai memang terlihat dalam cerpen ini. Tetapi yang ‘berlubang’ tentu saja bukan dalam hal hubungan penyair dengan dunianya --ini hanyalah perihal yang mempertautkan tema dalam buku ini, tetapi lebih pada relasi antara dunia si aku, dengan dunia dongeng tempat Rasyid berada, yang terajut dalam cerpen itu. Sebuah relasi yang mengambang…
5/
Demikianlah sekedar komentar pada buku cerpen “Tentang Kami Para Penghuni Sorter”. Cerpen-cerpen itu memang mengunggah ‘yang terpinggirkan’ menjadi pusat cerita. Masing-masing cerpen menawarkan pandangan yang beragam ihwal nasih, takdir, dan sisi-sisi manusiawi yang terbahasakan, juga tak terbahasakan. Jika saya menggugat karena adanya lubang-lubang dalam cerita, itu hampir sama ketika saya takjub: keduanya tak lebih dari cara saya untuk menunjukkan hormat. Saya ucapkan selamat atas terbitnya buku ini, semoga bermanfaat, penuh berkah dan menjadi persemaian kreatif yang terus tumbuh dan bermarwah; dan bisa menakik dari pergulatan-pergulatan ‘antara laut biru yang dalam dan setan’.
Wallahu waliyyuttariq!
Selasa, 22 April 2014
Pendidikan untuk Semua
Pendidikan untuk Semua
Oleh: Rais Muhammad K. S
Unesco, salah satu badan dunia di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), telah lama mencanangkan konsep pendidikan untuk semua (education for all).
Dalam konsep ini, secara makro pendidikan haruslah menyentuh seluruh lapisan masyarakat, dari masyarakat lapisan atas hingga laipsan bawah. Jadi, pendidikan bukan monopoli kalangan berpunya saja, melainkan juga menjadi hak kalangan marjinal.
Secara mikro, implementasi pendidikan untuk semua ini berdada di ranah kelas, di mana pendidikan harus mampu mengakomodasi segenap anak didik dengan karakeristik individualnya yang beragam. Guru tidak hanya melayani anak-anak cerdas saja, melainkan juga anak-anak yang terbilang agak lambat dan butuh perhatian khusus. Tidak pantas kalau anak-anak yang agak berbeda dengan anak-anak pada umumnya lalu dikucilkan dan dinafikan begitu saja. Anak-anak ini tetap butuh sentuhan motivasi, sentuhan kasih sayang dan sentuhan-sentuhan edukatif lainnya agar mampu berkembang sesuai minat dan bakat alaminya.
Persoaalannya, sudahkah konsep tersebut di atas menjadi urat nadi pelaksanaan pendidikan di sekolah kita?
Jujur saja, kita masih harus banyak berbenah. Kita masih melihat fakta adanya anak yang tak bisa masuk sekolah karena tidak punya beaya. Seorang ibu penjual jamu di Bawean mesti membeli kursi sendiri demi anaknya agar bisa duduk di ruang kelas. Ada anak yang telah beberapa tahun menamatkan pendidikannya di sebuah sekolah menengah tapi ijazahnya tersandera karena tak mampu menebus uang ujian. Pendek kata, pendidikan hingga kini masih menjadi barang mahal bagi kalangan masyarakat miskin.
Dalam ruang kelas, betapa gamblang kita lihat potret pembelajaran yang berusaha menyeragamkan siswa. Keberhasilan belajar diukur hanya dari kemampuan matematika, bahasa dan ilmu sosial, dengan melenyapkan penghargaan atas kemampuan-kemampuan kreatif, kesenian dan potensi inovasi. Keberhasilan dikerdilkan hanya menurut angka-angka rigid tes pilihan ganda, tanpa apresiasi terhadap keunikan individu, orisinalitas ide, dan keragaman persepsi.
Baju boleh diseragamkan, tapi kalau karakteristik individual anak didik kita juga diseragamkan, pasti akan ada yang terdepak dari singgasana pendidikan. Anak-anak tertentu saja yang dikatakan berhasil, sedangkan anak-anak lain dikatakan gagal. Alangkah merananya anak-anak yang secara kebetulan punya bakat yang berbeda dengan yang dimaui oleh pemegang otoritas pendidikan.
Apakah anak-anak yang ”cerdas” pasti berhasil dalam hidupnya? Dan apakah anak yang ”lambat” pasti gagal dalam hidupnya? Banyak fakta menunjukkan vonis berhasil dan gagal tidak dapat diambil sejak dini saat mereka ada di bangku sekolah.
Kalau begitu, kenapa kita mesti meratapi anak-anak yang ”lambat” seraya meninggalkannya begitu saja? Sedangkan anak-anak ”cerdas” kita ajak berlari sekencang-kencangnya bersama kita.
Kalau kita kembali dengan konsep dari Unesco di atas, sebagai guru, marilah kita bersama-sama mendampingi semua anak didik kita berkembang sesuai dengan minat, bakat dan kemampuannya. Istilah ini juga telah diadopsi dalam undang-undang sistem pendidikan kita, UU No 20 Tahun 2003. Apakah kita lupa?
Akhirnya, marilah kita kembali berkomitmen bahwa pendidikan untuk semua, bukan untuk kalangan tertentu atau segelintir anak tertentu.
Rais Muhammad K. S , guru di MI Salafiyah Gapuro Warung Asem Batang.
Khadlon@yahoo.com
Langganan:
Postingan (Atom)