Powered By Blogger

Sabtu, 26 April 2014

Feature: Nuansa Kekerasan dalam MOS

Hari masih pagi. Matahari baru saja nongol dari ufuk timur di atas punggung Gunung Penanggungan, Mojokerto. Udara dingin merayap terbawa bersama angin semilir. Rasanya, badan ini mau menggigil saja. Untunglah, saya tidak lagi alergi dingin sehingga bisa memantau kegiatan Masa Orientasi Siswa Baru (MOS) yang dilaksanakan di sekolah kami, SMK Negeri 1 Pungging. “Yang sakit, yang pura-pura sakit, yang merasa tidak kuat, maju ke depan, Dik!” kata kakak-kakak senior kepada para yuniornya. Teriakan-teriakan itu terus diulang-ulang oleh beberapa senior, sementara beberapa yunior (siswa baru) yang terlambat dibentak-bentak, dihukum push up dan sebagian di antaranya harus berlari mengelilingi lapangan. Hari itu adalah hari pertama siswa baru masuk sekolah. Sebentar lagi akan dilakukan upacara hari senin sekaligus pembukaan MOS. Sebelum upacara dimulai, siswa baru dikondisikan agar “disiplin”. Bentakan, hukuman, bahkan cemoohan menggema di antara dinginnya udara pagi. Tak pelak lagi, siswa baru memulai hari pertama masuk sekolah dengan penuh ketegangan. “Ingat, kamu masih calon siswa di sini, Dik!” ujar senior kalau melihat ada geliat melawan dari sang yunior. Inilah gambaran MOS (Masa Orientasi Siswa) selama ini, dari tahun ke tahun. Tercium sekali bau kekerasannya. Apakah memang pelaksanaannya mesti begitu? Entahlah. Dari mana asal-muasal tradisi kekerasan itu muncul mewarnai agenda awal tahun bagi siswa baru? Saya benar-benar tidak tahu. Dulu, saat awal-awal sekolah ini berdiri, saya ikut andil dalam mengembangkan kegiatan MOS. Waktu itu, saya melihat kondisi organisasi kesiswaan (OSIS) belum ada greget. Saya pikir, salah satu penyebabnya adalah belum dilibatkannya pengurus OSIS dalam menyambut siswa baru. Seingat saya, bukan MOS bernuansa kekerasan itu yang saya kembangkan. Tapi seiring berjalannya waktu, ada improvisasi kebablasan di sana sehingga nuansa kekerasan dan perploncoan seperti terjadi dan terus terjadi. Kalau dilihat dari namanya, yaitu orientasi, mestinya MOS hanyalah sebuah kegiatan yang bertujuan mengenalkan siswa baru kepada lingkungan barunya: ruang kelas, kurikulum, fasilitas sekolah, teknik penilaian, guru-guru, maupun kakak-kakak kelas yang nanti bakal ditemuinya. Kenapa harus menjadi kegiatan bentak-bentakan yang cenderung merendahkan? Siswa baru disuruh menggunakan aksesoris tali rambut rafia (bagi anak perempuan) dan memakai rompi tas kresek (bagi laki-laki), bahkan harus sambil menggigit dot, dan sebagainya. Ini cenderung sebagai perploncoan dan pelecehan. “Awalnya, kami memberi kesempatan kepada para senior untuk membina adik-adiknya agar lebih berdisiplin. Tapi, inilah yang terjadi. Disiplin ternyata dimaknai sebagai militerisasi,” ungkap Drs. Mukiyar, Wakasek Kesiswaan. “Nampaknya, dari tahun ke tahun, seiring dengan kreativitas para senior, MOS berkembang menjadi pembinaan dengan menghalalkan kekerasan. Kami selalu mewanti-wanti agar jangan ada kekerasan, namun nampaknya mereka balas dendam atas perlakuan yang dialami sebelumnya,” ujarnya lagi. “Senior hapal betul perlakuan yang pernah dialaminya, kini hal serupa diberlakukan pada yuniornya. Semua Sudah Terencana Ketua MOS, Choirul Anam mengatakan tidak ada yang salah dari kegiatan MOS di sekolahnya. “Semuanya sudah sesuai dengan rencana matang yang digagas di tiap rapat koordinasi. Kita ini anak-anak SMK Teknik atau kalau dulu disebut STM. Mental mesti kuat, tidak boleh memble. Kalau tidak diterapkan disiplin militer, lalu disiplin apa lagi?” ungkapnya berapi-api. Hal serupa juga diungkapkan Yoyok, komandan pasukan khusus (pasus). “Kami memang menerapkan disiplin ala militer, tapi tidak melakukan kekerasan. Kami tidak pernah memukul, menampar atau melakukan sentuhan fisik. Yang kami lakukan hanya ketegasan, bukan kekerasan,” kilahnya. Lain lagi pendapat Feri, aktivis pramuka. Dia berpendapat, kalau disiplin militer yang diterapkan, pasti tetap berbau kekerasan. “Hukuman push up, lari-lari, dan lain-lain, bukankah itu termasuk kekerasan?” katanya. Menurutnya, untuk menanamkan disiplin, yang penting harus disentuh pada yunior itu hatinya. Sentuhlah hatinya dengan kasih sayang!” ujarnya sambil mengusulkan agar pelaksanaan MOS di sekolah ini dirombak total. “Bersama-sama kita buat petunjuk teknis, petunjuk operasional, atau semacamnya secara rinci. Kemudian pelaksanaannya di lapangan selalu dipantau secara serius oleh pembina,” katanya lagi. Dari pengalaman saya sendiri dalam berapa tahun menjadi pembina kesiswaan, kendala memang selalu muncul. Saya pernah selalu rutin mengadakan rapat evaluasi dan koordinasi tiap hari saat pelaksanaan MOS, terutama menyangkut kegiatan apel, namun ada saja penyimpangan esoknya. Payahnya, dalam koordinasi kadang ada beberapa panitia tidak mengikuti, lalu esoknya berulah. Yang paling sering terjadi, ada senior penyelundup, yaitu siswa senior yang bukan panitia tapi ikut nimbrung membentak-bentak. Motifnya, kadang hanya sekadar untuk aktualisasi diri. Inilah yang paling bahaya. Hari bertambah siang. Matahari mulai menyengat ubun-ubun. Para senior masih dengan semangat “mendidik” adik-adiknya. Masih ada bentakan-bentakan keras, push up, dan berlari-lari mengelilingi lapangan. Para senior agaknya lupa bahwa kondisi para yunior sangat beragam. Ada yang kuat fisiknya, ada yang lemah. Beberapa yunior ambruk tak sadarkan diri: pingsan. Beberapa tim medis mengangkat anak yang pingsan ke ruang istirahat dan memberikan pertolongan ala kadarnya. Yang parah dilarikan ke rumah sakit terdekat. Beberapa yang ambruk ternyata bukan pingsan, tapi kesurupan. Panitia memanggil orang pintar untuk mengusir roh jahat. Tak beberapa lama mereka sadar juga, tapi ada yang tetap berteriak-teriak histeris sambil menangis. “Ini tidak kesurupan, Pak. Ini hanya depresi. Jauhkan dari siswa panitia!” kata Mas Rochim, orang pintar yang masih muda ini. Betul. Begitu dijauhkan dari para senior, anak itu berangsur tenang. Namun ketika melibat sekelebat panitia berseragam putih biru, ia kembali berterika-teriak. Matahari makin menggila, dan para senior tak surut dengan aksinya. Apel siang tidak seklesai-selesai juga. Saya yang melihat dari teras sebuah ruang kelas bertanya di dalam hati. Kalau terjadi apa-apa dengan para siswa baru, misalnya sampai ada yang tidak tertolong karena fisiknya memang lemah, siapa yang bertanggung jawab? Tiba-tiba saya merasa ngeri. Sebab saya tahu, ini bisa terkena pasal tentang kelalaian yang menyebabkan jatuhnya kurban. Hukumannya penjara, lho! Ah, Semoga ini tidak pernah terjadi, doaku berkali-kali. (Rais Muhammad KS).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar