PURNAMA DI TEPI SUNGAI BRANTAS
Pur, gadis yang setiap malam selalu menepi di tepi sungai brantas, selalu melafalkan sesuatu, entah apa yang di lafalkan ketika malam pecah, suaranya pelan mendayau mengumandang di tepi aliran sungai barantas. Sunyi yang merambat seperti langkah kura-kura, begitu pelan menusuk sungsum tulang. Menuju keheningan abadi. Aku terus mengamati gadis itu, berfikir apa gerangan yang terjadi pada dirinya, kenapa setiap malam dia selalu berada di tepi sungai brantas ini, bukan kali pertama aku melihat dia di tepi sungai berantas ini, dan entah kenapa? apakah benar apa yang selama ini orang-orang katakan, kalu dia gadis yang tidak waras.
Aku berdoa dengan khusuk, agar allah memberi limpahan karunia kepadanya, kemuliaan sebagai manusia, kesejahteraan yang melimpah bagi dia dan keluarganya. Aku tabu, walaupun aku berusaha tidak ingin menanyakan apa yang terjadi pada dirinya? Tapi orang-orang sekitar tidak pernah bias menutup mulut mereka.
Sampai akhirnya ingin aku tanyakan langsung pada dirinya di malam yang sunyi itu.
‘’maaf , kenapa setiap malam, engkau selalu berada di tepi sungai brantas ini ?’’
Dia terdiam, dan tetap terdiam sampai akhirnya
‘’maaf, mungkin ini bukan urusan ku, bila pertanyaan ku meyinggungmu, dan permisi’’
Kulangkahkan kakiku, mencoba tuk meninggalkan gadis itu, walau dalam pikirku masih tersimpan pertanyaan-pertanyaan apa yang terjadi pada dirinya.
Disaat aku mulai menjauh darinya tiba-tiba
‘’ tunggu maafkan aku, bisakah kamu kembali lagi.” Pintany padaku. Aku pun menoleh dan menghampirinya. Kulihat tatapan matany begitu berat, seperti ada yang ingin dia curahkan kepadaku.
‘’kamu tahu kenapa, aku setiap malam selalu berada di tepi sungai brantas ini ?’’ Tanya dia padaku.
Aku tidak menjawabny, karena aku benar-benar tidak tahu.
‘’mungkin kau mengira aku ini gadis yang tidak waras, seperti orang-orang kira, gads yang setiap malam, selalu menepi di pinggir sungai berantas. Gadis yang suka berbicara sendiri, gadis yang menghilang seiring hilangnya malam, ini semua aku lakukan, agar aku bisa merasa lebih dekat, kepada Dia yang yang mempunyai kebahagian, kesediaan ,kenikmatan atas diriku, semua berawal disaat aku tinggal disebuah desa, walau desa kami sangat terpencil, berada ditepi wilayah kota majapahit ini, tetapi kami mempunyai 2 masjid dan empat surau, kami tidak pernah peduli kemajuan diluar desa kami. Yang terpenting kehidupan kami tidak pernah terusik, oleh hal-hal yang dianggap tabu bagi agama maupun masyarakat.
Tetapi aku dan keluargaku sudah menghancurkan hal itu, ayahku adalah orang ternama di desa kami, ayah adalah seorang pramugarai tayub, semacam piƱata acara dalam pagelaran tayub, ayahkulah yang membuka tarian pertanya dimulainya pagelaran thandak itu, lalu meyerahkan sampur atau selendang kepada para penari. Ayah menikahi seorang penari yang tak lain dia ibuku, sampai pada suatu hari, entah apa yang membuat ayahku berubah, setiap malam ketika pulang selalu dalam keadaan mabuk, pernah juga ayah membawa perempuan lain kerumah, yang membuat ibuku semakin menderita. Sampai pada suatu hari sebuah mobil ambulan dating dari kota kecamatan mengantar keranda, ayah terbujur kaku, dengan tubuh penuh tusukan dan darah.
Rumah ku yang kecil penuh, sesak oleh tetangga, hanya sebuah gubuk papan berukuran 6 kali 4 meter, tak pernah cukup menampung tubuh mereka, tak pernah cukup menampung mulut mereka, yang ingin berkata, tak pernah cukup menampung keingintahuan mata mereka yang jelalatan, mencoba memaknai, mencoba merangkai apa yang dilihat pada ayahku dengan peristiwa-peristiwa yang bagi mereka tabu, sebuah gelati menembus jantung ayahku. Seperti menembus jantung ibu dan aku, membuat kakiku gemetar, dadaku berdebar, mimpiku hilang.
Hari-hariku penuh dengan cacian dan ejekan teman-temanku, ‘’ kamu tahu kenapa aku enggan bekumpul denganmu? Tanya Sri padaku, aku tidak menjawab. Sri yang selalu menghasut teman-teman di desaku agar tidak bermain bersamaku. ‘’aku tidak tahu apa maksudmu’’? jika kamu engggan berkumpul dengan aku, pulanglah siapa yang menyuruh berkata begitu padaku? Jawabku ketus.
‘’hub, anak pemabuk, anak bajingan, belum cukup apa yang terjadi pada ayahmu? Kamu ingin merasakan hal yang sama?’’
Tutup mulut mu! Kataku dengan geram, usiaku masih 15 tahun, ketika perlahan kurasakan orang-orang mulai melecehkan aku dan ibuku. Sri semakin keras mengeluarkan ejekan padaku. Dia menari-nari menggoyangkan pinggul menarik kedua pelipis matanya sambil menjulurkan lidahnya.
‘’ we, anak pemabuk, anak pemabuk, bapak mu pemabuk’’ dia masih menari-nari dan menyanyikan kata-kata itu didepan ku. Amarah dan kesakitanku bergerak dengan cepat menuju hati. Entah kekuatan apa yang merasuki ku saat itu, aku menjambak rambut Sri dengan cepat, memegang tangannya kuputar dengan kerasny kebelakang. Aku tidak peduli aku hanya ingin membuat Sri kapok dan berhenti mengejek ku tentang ayahku.
Sri menangis dengan kerasnya, dia menangis kesakitan, tiba-tiba sebuah suara menghentikan perbuatanku, ibu menangis memintaku berhenti menghajar Sri.
‘’ibu’’ aku berlari kedalam pelukanya. Lalu angin menagis, pepohonan menangis, menyisakan sunyi bagi aku dan ibu.
Peristiwa itu, membuat ibu mengirimkan ku untuk tinggal dirumah pakdhe. Di mojokerto ini. Enam tahun aku disini, mengaji dan belajar agama. Tapi pilihanku hanya satu, aku ingin memohonkan ampun bagi ayahku atas dosa-dosanya selama ini.
Iya, dia memang mati mengenaskan, ya, dia penjahat bagi yang dirugikanya. Iya, dia meninggalkan kejelekan yang dikenang orang. Tapi aku anaknya, aku harus menghapus semua catatan tentang ayahku dengan kebaikan dan rasa baktiku padanya.
Dan sekitar 6 bulan lalu ibuku menemuiku
‘’pur ibu ingin menikah lagi’’ aku hanya diam saat itu, tak terkejut sedikitpun,
‘’kamu mengijinkan ibu menikah lagi’’ aku masih diam. ‘’ kamu tidak mau ibu menikah lagi’’ aku hanya diam. ‘’ibuk tidak ingin merepotkan pakdhe terus menerus, ibu juga tidak ingin menjadi janda selamanya, pak Rahmat melamar ibu, istrinya meninggal 4 buln yang lalu, dia ingin menikahi ibu, bulan ini bagaimana menurutmu . ?’’ Tanya ibu dengn hati berat saat itu, aku memanadang wajah ibu, walaupun usianya sudah hampir mencapai kepala empat, ibu masiha kelihatan cantik, ada gurat kesedihan, ada luka dimatanya, aku tak sanggup memandangi lebih lama.
‘’ kalau ibu bahagia purnama pasti suka’’ ibu tersenyum mengusap kepalaku, mencium dan memelukku. Malam itu aku berdoa untuk ayah dan ibu. Untuk kebahagian ibu dengan suami barunya, untuk kebahagiaan ayah agar diampuni dosa-dosa nya. Aku mau mengorbankan apa saja untuk melihat mereka tersenyum, menatap pasti dunia. Hidupku , diriku, sejak saat itu milik Allah, tidak kebahagiaan yang pastas aku terima, kecuali seizinnya, hidupku adalah kebahagiaan orang tua ku, hidupku adalah doa-doa untuk kebahagian mereka.
Aku hanya ingin melihat ayah dan ibuku bahagia, dan sampai kapan pun aku akan selalu berdoa untuknya, tidak peduli orang orang mengatakan , aku gadis gila yang setiap malam selalu menepi di tepi sungai brantas ini. Karena jiwaku hanya untuk sang pencipta.
‘’ Kuakui aku, sangat kagum padamu, karena engkau benar-benar purnama untuk kedua orang tua mu, yang selalu menyinari hati kedua orangtua mu.’’ Pujiku padanya, tuk memecahkan suasanya yang terlalu larut dalam kesediahan,
Tak terasa malam pun mulai meninggalkan aku dan dia seiring semilir angin yang menyapa dengan lembut, merasuk sendi-sendi tulang. Gadis itupun pergi menghilang seiring hilangnya malam.
Banyak orang merasa kasihan pada Dia, bukan karena dia kehilangan ayahnya sejak kecil. Tetapi bagaimana hidupnya nanti, adakah yang mau menikahi dia. Purnama di tepi sungai Brantas. Gadis aneh, yang suka menyendiri, yang suka berbicara pada malam. Meski begitu aku yakin pada hidupnya, suatu saat dia akan mendapatkan kebahagiaan, karena sang khalik tidak akan membiarkan hidupny dalam kesepian.
Mojokerto, 23 Desember 2010
Rais Muhammad K S,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar