Powered By Blogger

Sabtu, 23 Maret 2013

Cerpen

Jemput Aku di Merak Cerpen Rais Muhammad K.S Bunga suka berlama-lama duduk di tepi beranda rumah itu. Ia menatap langit. Mungkin menatap langit yang cerah keabu-abuan, mungkin pula memandangi Bulan yang tersaput kabut sambil menduga-duga kapan kiranya ia menampakkan wajahnya. Bila ia duduk di sofahitamnya yang lembut, ia akan menjulurkan kakinya yang mulus putih itu hingga mendapatkannya dipeluk angin malam. Atau bila ia bosan berdiri dan duduk-duduk, ia pasti melambaikan telapak tanganya pada mawar merah itu. Memandangi mawar di sepanjang beranda rumahnya dan membiarkan dirinya raib tertimbun wanginya mawar dan kemudian lenyap dirimbunnya malam. Setelah itu, orang-orang akan bertanya-tanya; ke manakah ia pergi? *** Bunga hilang lagi. Itulah berita yang kesekian kalinya kudengar dari orang tuanya. Dan aku pun tak tahu mengapa aku merasa benar-benar bertanggung jawab atas kehilangannya kali ini. Atau mungkin karena ia tidak membalas SMS-ku? Mungkin ia memang sudah muak dengan teknologi dan membuang handphonenya jauh-jauh ke laut. SMS terakhirnya hanya berbunyi, “Aku di Merak.” Aku duduk tenang di dalam griyapenduduk tempat Bunga menginap. Mataku tak lepas dari jendela memandangi gadis itu yang berdiri di tepi pantai pelabuhan Merak. Ia memperhatikan setiap golakan gelombang pada laut biru bersih itu yang sewarna dengan calana jensnya. Ia pasti sedang mencari inspirasi tentang sesuatu yang dalam dan memikat. Rambutnya yang sebahu tipis itu kusut disisir angin pagi. Kabut dini hari masih mengambang mengibaskan sejuk. Aku tak pernah tahu apa yang ada dibenaknya. Ia seakan enggan untuk ditebak. Aku ingat percakapan malam itu di balkon kamarnya saat di Mojokerto, memandangi langit malam dengan sedikit bintang-bintangnya yang berkedip, “Betapa nikmatnya menjadi seorang engkau, Anisa.” Aku hanya menatap tubuhnya yang langsing semampai itu dari belakang diterangi cahaya merkuri lampu jalan. “Ah, sudahlah, Anis. Tak perlu disesali. Aku sudah terlanjur salah mengartikan cinta, “ ia menoleh padaku. Pada matanya yang perak itu, selain menyimpan kenangan di matanya, aku tahu ia menyimpan bulir-bulir mutiara yang siap meluncur di sudut-sudutnya. “Bunga, dunia ini milikmu,” kataku pada akhirnya. Bukan lelah aku memberinya semangat terhadap dirinya seperti apa yang selalu ia lakukan untukku. Ia menatap amplop yang aku taruh di meja sebelum akhirnya ia menatap langkah kakiku yang membuatnya berdua bersama sepi. Kini aku mendapatkannya di Merak. Aku tak tahu di mana pantai Merak sebab baru pertama kalinya aku keluar kota seorang diri meninggalkan kota kelahiranku ke tempat di mana aku tak tahu apa-apa. Tapi aku seperti mendapatkan kabut, sebab sepertinya ia tidak menginginkan kehadiranku dan tak ingin membagi keindahan kota cantik ini padaku. Sudah dua hari ini aku di Merak bersama patung rupawan yang belum juga mau berbicara banyak padaku. Entahlah, apa yang ia lakukan saja berhari-hari di sini. Kabur dari Rumah dan membawa baju yang menempel ditubuhnya? Aku seperti Anak Ayam yang kehilangan induknya di kotanya ini. Dari Mojokerto aku dioper ke Solo lalu dioper lagi ke keberbagai tempat. Melewati beberapa kota . Bertanya kepada setiap supir angkutan dan kemudian sampailah aku di Merak setelah melewati sebuah rute yang cukup melelahkan . Aku berbelok-belok menelusuri panjang perjalanan untuk sampai pada sebuah pelabuhan di mana kini Bunga bernafas. Namun sampai di sini ternyata aku seperti tak bernyawa di hadapannya. Ya, sampailah aku di sini, sebuah pemukiman penduduk dengan rumah-rumahny yang tertata sedemikian rupa. Mungkin jika perkampunganini adalah sebuah kota, maka ia lebih tepat disebut kota tua yang rupawan. Begitu kuno dalam perawatan waktu dan alami dalam goresan alam. Lalu bertanya aku pada seseorang tentang seorang gadis bernama Bunga dengan menunjukan fotonya yang aku bawa dari Mojokerto. Ia menunjukanku jalan menuju Bunga bersandar dalam pelariannya. Sebuah pantai yang tenang dan sejuk. Itulah kulihat pertama kali ia berdiri di situ seperti saat ini. Aku datang menghampirinya dan diam-diam saja bersebelahan dengannya. Ia sama sekali tidak terkejut atas kedatanganku. Memang SMS terakhirnya hanya menyatakan di mana ia berada sementara seisi rumahnya dirundung kebingungan atas berita hilangnya ia. Ia sama sekali tak menginginkan ada yang datang menjemputnya, sebab tak ada seorang pun di rumahnya, dan tak terkecuali aku, yang tahu di mana Bunga tinggal. Seorang ibu pemilik rumah tempatnya bernaung menaiki tangga rumahnya sambil membawa segelas Kopi. Kopi itu masih mengepul dan menawarkan aroma Khas yang harum. Ia tersenyum padaku dan meletakan kopi itu di meja. Kuhisap rokokku dalam-dalam sambil tak lepas memandangi gadis setengah matang itu mematung di bibir pantai. “Dia memang suka seperti itu kalau datang kemari,” kata ibu itu. Ia mempersilahkan aku untuk mencicipi kopi yang masih mengepul itu. “Biasanya dia datang ke sini tiga kali dalam seminggu. Hanya saja sudah beberapa hari ini dia tidak mau kembali.” Aku memalingkan wajahku pada ibu itu. Sang ibu tersenyum. Tampak wajah mudanya belum pudar meski tertutup kerut-kerut halus usia dan kelelahan. “Kalau tidak menulis, ia pergi ke Dermaga. Ia suka menikmati pemandangan. Dia suka mengumpulkan kulit siput dan koral. Di kamarnya banyak sekali koleksinya itu.” Aku manggut-manggut, mematikan rokok dan mencoba mencicipi kopi yang diseduhkannya untukku. Ternyata Bunga sudah seperti anak sendiri bagi ibu itu atau tepatnya bagi kampung ini. Ibu itu kemudian memohon diri sebab ia harus ke pasar dan membeli bahan-bahan untuk makan siang nanti. Beberapa teguk dari kopi itu telah melunasi dahagaku, tapi aku tetap saja kacau. Rasa haus yang melanda perasaanku tak juga terpuaskan. Maka kuturuni tangga dan berjalan menuju gadis itu. Dari belakang kulihat rambutnya yang hitam panjang, ia juga kusut diremas angin pantai. “yo opo rek?” tanyanya ketika aku telah berdiri cukup lama di sampingnya. Aku tersenyum dan menatap apa yang sedang ia tatap. “Baik. Pagi yang selalu indah di sini, ya?” ia tidak menyahut dan terus memandangi bentangan alam yang dibuat Tuhan. “Aku tak enak dengan orang tuaku. Memang sudah selayaknya Ayah marah padaku karena aku telah mempermalukanya, mencoreng nama keluarga. Mereka telah berkorban banyak untukku.” Akhirnya ia mulai berkata-kata setelah sekian hari aku hanya didiamkan saja. Mungkin ia telah usai marah padaku sebab berani-beraninya aku datang ke Merak dan memergokinya bersama Buku Diarynya. Aku tak mau komentar apa-apa. Aku ke sini meski membawa pesan dari orang tuanya untuk mencarinya, tapi tujuanku sendiri adalah mengetahui kalau ia baik-baik saja. “Ah Anis, seharusnya tak kuberi tahu kau kalau aku ada di Merak yang membuatmu datang.” Dari kata-katanya aku tahu ia tak suka ada orang yang mengganggu kesendiriannya. “Tapi kau lari dari kenyataan, Bunga.” “Lho, kau ini bagaimana? Katamu dunia ini milikku?” Aku tahu, setiap kata-kata baginya bernilai kesumat. “Ya, tapi aku mengkhawatirkanmu.” Ia tersenyum, mengulum tawanya. Ia suka aku berbicara seperti itu. Tapi kemudian wajahnya kembali murung. Sesuatu yang merah dan mengemaskan menyembul di dua pipinya. Kami diam berlama-lama. Aku tak mau lagi ada kata-kataku yang meluncur begitu saja dan membuatnya hilang dari pandanganku saat ini juga. “Ke mana handphonemu?” “Aku jual. Aku ingin menginap di sini lebih lama dari yang mereka bayangkan.” Kami berdiaman lagi. Sama-sama menatap gulungan ombak berlarian meyambut jari jari kaki kami. ia tersenyum seakan mengingat bagaimana Bunga kecil berlari-lari di tepi pantai Kenjeran dengan perasaan bahagia dan tanpa beban pikiran apapun. “Anis, tahukah kau aku mengoyak sepi di tengah semangat yang kupancarkan padamu untuk hidup? Tak ada yang berbeda sebenarnya di antara kita selain rasa sepi.” Ia memandangku. Pipinya masih meranum seperti tomat muda. Matanya yang biru itu membuat wajahnya menjadi sangat lembut dan serasi dengan alam pantai Merak yang senantiasa muda. “Menurutmu, apakah karang itu bisa bertahan dari deru ombak yang menderanya?” ia menunjuk karang itu, aku tersenyum padanya dan aku menggeleng kuat-kuat. Tergantung . Ia tertawa. Tawa yang renyah seperti biasa kukenal ia. Tapi tawa yang ini seakan begitu janggal, sebab seperti ada suatu perasaan yang ia sembunyikan padaku. “Mau ikut atau mau berenang? Aku mau ke Dermaga, mumpung lagi surut dan masih sepi.” Ia berjalan meninggalkanku tanpa menunggu jawabanku. Aku tersenyum menatap gadis itu yang sesekali berhenti dan membiarkan kakinya disapu air laut dan sesekali pula memunguti koral dan kulit siput yang dibimbing laut padanya. “Bunga, kau tak salah memilih tempat….” Teriakku, tapi ia tidak menoleh. Namun aku tahu pipi itu masih memerah entah karena apa dan aku pun tahu ia menyembunyikan sebuah senyuman untuk kubawa pulang besok sebab ia memang menghendaki kata-kataku yang demikian. Ia nampak begitu manja dan kanak-kanak, pikirku sebelum akhirnya aku menyelami birunya laut Merak. Aku menyusulnya ke Dermaga. Bunga tampak bak ratu pantai yang tercenung di bibir dinding kapal yang terdiam. Ia melambai padaku dan mengharapkan kedatanganku. Sebuah lambaian yang memikat. Aku menghampirinya dan ia langsung menarikku untuk menikmati dinding-dinding kapal itu. Tapi ia tak menjelaskan apa-apa di dbibir kapal tua itu. Aku tak pernah tahu apa yang dipikirkan gadis itu saat ia melihat-lihat stalagmit dan stalaktit yang menempel di dinding bawah dan atas kapal. Atau saat ia terpesona pada sinar matahari yang tipis menerobos celah-celah dinding barisan kapal tua. Mungkin Bunga enggan berbicara padaku. Kulihat ia meraba-raba gelap dan kabut seperti bayi yang meraba ujung dan pangkal kehidupan. Aroma dingin yang menyekap badan kapal karena musim hujan membuatnya tampak begitu pucat dan bersinar seperti kunang-kunang. Ia seperti lentera yang membuatku dengan jelas melihat segala ornamen dinding-dinding bisu itu. Diam-diam aku memperhatikan gadis itu. Aku tak pernah tahu apa yang ia pikirkan. Aku pun tak tahu sudah berapa lama ia bersahabat dengan sepi. Lama kelamaan aku berpikir, apakah benar dia telah hamil dengan lelaki yang dikelnya seperti yang dibicarakan orang-orang kampung. Tapi tiba-tiba aku terjebak. Ia memergokiku yang diam-diam memperhatikannya, “Kenapa?” tanyanya. Aku menggeleng dan tak kuat menahan senyum, dalam terang yang redup dan hangat itu dapat kursakan pipinya bertambah merah. “Jadi Melanjutkan ke SMAN 1, anis?” ia memalingkan wajahnya dari tatapanku. “Ya. Terima kasih atas pinjaman uangnya waktu itu.” Kataku mencoba mengalihkan pembicaraan. Sebab menyinggung masalah itu rasanya menciptakan obrolan yang kaku sekali. Mungkin juga karena kini aku menebak kenapa pipinya tiba-tiba tambah memerah seperti tomat. Mungkinkah ia meyesal. Bunga adalah sahabatku sejak kecil. Banyak sudah kami saling berbagi kecuali yang satu ini. “Kenapa? Aku hanya ingin memastikan saja.” Aku tak dapat menggambarkan dengan jelas ekspresi wajahnya dan memang aku tak berani menduga dan membayangkannya. “Bunga, kamu masih mau kan kembali ke Mojokerto?” “Tentu. Di sanakan rumahku, tapi aku mau lebih lama tinggal di Merak.” “Sekolahmu?” ia mendengus membuang sisa uap lelah hatinya. Ia menarik tanganku dan mengajakku keluar Dermaga. Ia menjelaskan tanpa menjawab pertanyaanku bahwa sebentar lagi akan banyak Nelayan yang datang untuk menjaring ikan tuk mencukupi kehidupan kluarganya . Ia melepaskan gandengannya ketika keluar dari Dermaga dan aku mengikuti langkahnya dari belakang. Namun ia menungguku untuk dapat berjalan beriring. Aku menggandeng tangannya. Ia tampak sedikit berseri. Aku malah yang terkejut, tangannya sedingin es di kutub sana. Baru aku menyadari kalau seluruh bajunya basah seperti ia habis berenang. “Anisa, kapan kau pulang?” Ia menyenderkan kepalanya di bahuku. “Besok.” Jawabku singkat. “Nanti malam ada pertunjukan tari bisa lihat banyak para penari yang sangat rupawan .” Ia tersenyum menatapku dan kembali menyandarkan kepalanya di bahuku. Bicaranya begitu cepat dan menggoda aku tak dapat menangkap dan mengerti maksud yang ia bicarakan. Ia benar-benar telah jatuh cinta pada Merak. “Terima kasih sudah datang, Anis.” Katanya sebelum berpisah di rumah sebab ia hendak menggambil buku di atas meja. Begitulah Bunga, aku tak pernah tahu apa yang ada dalam pikirannya. Apakah ia meyesal ataukah ia ragu. Mungkin ia tidak suka atau mungkin juga ia jatuh cinta. Ia juga tidak mau mebicarakan hal-hal yang tidak ia suka meski itu harus dibicarakan. Dan sampai saat ini aku hanya bisa menduga-duga, ia memang tak menghendaki aku datang ke Merak, sebuah dermaga besar, tapi ia juga tak menginginkan aku pergi darinya. Malamnya aku terbangun karena resah tiba-tiba merajaiku. Aku keluar kamar dan mendengar suara sayup seorang gadis menangis di kamar sebelah. Hatiku miris. Tapi aku tak mau mengganggu sepinya malam yang pecah karena sedu seorang gadis yang menuangkan curahan hatinya pada alam yang kelam. Ya, ibu itu juga mengatakan kalau Bunga juga suka keluar tengah malam mengamati pantai yang warnanya bersatu dengan langit dan hanya bisa dibatasi dengan tebaran bintang. Apakah tadi Bunga keluar jalan-jalan di tepi pantai tanpa menikmati Pertunjukan tari. Aku diam terpaku. Duduk rapat di tepi jendela. Sebuah buku diary dan bolpoin biru tergeletak hampa di meja. “Anis apakah aku Salah?” katanya senja tadi sebelum kutinggalkan ia bersama pantai dan malam yang mulai merayap. “Tidak,.” Kataku sekenanya. “Itu jawaban yang aku tunggu, Anisa.” Ia memelukku tanpa peduli pada penduduk yang lewat. Lama ia tanamkan dirinya dalam pelukanku. Sebelum akhirnya ia mengangkat wajahnya dan kudapati pipinya memerah dan matanya penuh air mata. “Aku mau hidup di sini. Boleh kan?” aku mengangguk. Aku tak berani menanyakan perihal sekolahnnya. Lalu aku meninggalkannya kembali bersama sepi. Aku tak tahu ke mana ia sepanjang senja itu. Apakah ia baru pulang setelah menjelang dini hari ini? Di kamar sana masih kudengar segukan seorang gadis yang mengadu pada sepi dengan bahasanya sendiri tentang segalanya yang telah ia pendam. Ia berdialog dengan malam layaknya dialog ombak kepada pantai. *** Pagi ini aku tak menemukannya di kamarnya. Sang ibu bilang kalau ia menitipkan buku diary di atas meja untuk kubawa pulang. Aku harus pagi berangkat ke Banten agar tidak sampai terlalu malam di Mojokerto. Maka tak ada waktu lagi untuk mencari Bunga. Kutitip salamku untuk Bunga pada sang ibu dan mengucapkan terima kasih atas segala pelayanannya. Aku pun kembali. Saat bus yang kutumpangi melaju, kubuka surat Bunga. Ah, benar hanya surat pemeberitahuan kalau ia baik-baik saja dan mohon agar tidak dikhawatirkan orang tuanya serta agar ia tidak memberitahukan di mana keberadaannya. Dan pada bagian terakhir ia hanya menulis untukku, “Anisa, kalau aku hilang jemput aku di Merak.” Beberapa hari setelah perjalanan yang bisu itu aku melihat berita dikoran kota , bunyinya kira-kira begini: Telah hilang, Bunga (17), Siswa SLTP asal Mojokerto. Tak ada yang tahu di mana ia berada. Orang tuanya sungguh sangat memprihatinkannya dan gelisah sampai memasang iklan segala. Ah, Bunga sahabatku, apakah harus aku menjemputmu lagi di merak? Dan membawamu kembali ke rumah agar semua orang tahu kalau kau baik-baik saja? . *** Mojokerto – Banten Untuk Bunga Sahabatku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar